OLEH: AURA REGITA FIOLIN
Minggu pagi kala itu terasa cukup tenang. Sang mentari seperti enggan menampakkan dirinya. Ia memilih menyembunyikan sinar lembutnya dibalik putihnya awan. Angin berhembus kencang menerbangkan dedaunan diranting yang mulai rapuh. Kicau Burung Pipit turut menambah syahdu suasana kala itu.
Ditengah kedamaian pagi, Anyelir nampak tengah bercengkrama cukup serius dengan Ibunya. “Bu, Ibu yakin Anyelir mampu melanjutkan kuliah di Universitas itu?”, tanya Anyelir sembari menghembuskan nafas lelah. Mendengar hal itu, sosok yang Anyelir sebut dengan Ibu sontak menjawab dengan mantap, “Kamu pasti bisa, nak. Ibu telah mengusahakan yang terbaik untuk biayanya. Sudah, kamu tenang saja”.
Mengakhiri percakapan tersebut, Sang Ibunda kemudian berpamitan untuk pergi bekerja di ladang pagi ini. Anyelir kembali menghela nafas. Setelah Bapaknya tiada, Sang Ibu harus rela menjadi tulang punggung keluarga. Bahkan, Anyelir juga harus bekerja sebagai tenaga kerja di salah satu toko sembako dipasar tiap akhir pekan.
Melihat jarum jam sudah sampai diangka tujuh, Anyelir bergegas berangkat kepasar menggunakan sepeda peninggalan Bapaknya. Sesampainya dipasar, Anyelir sama sekali tidak fokus bekerja. Entah mengapa Anyelir merasa tak tenang, gelisah akan sesuatu yang tak diketahui sebabnya. Sampai tiba-tiba pemilik toko menegur Anyelir, “Nduk, kamu itu kenapa to hari ini? Kok kelihatan suntuk dari pagi?”. Anyelir hanya tersenyum kecil, lalu menjawab “Mboten nopo-nopo buk, cuma kecapean dikit, masuk angin mungkin”.
Ditengah obrolan tersebut, tiba-tiba Bora, tetangga sekaligus teman dekat Anyelir datang tergesa-gesa menghampirinya. “Anyelir! Anyelir! Ko punya Ibu sekarang sedang pingsan! Tak kuat menengok rumahmu yang tengah dilalap Si Jago Merah!”, kata Bora dengan logat khasnya.
Mendengar hal itu, rasa-rasanya Anyelir seperti tersambar petir disiang bolong. Jantungnya seakan ingin meledak karena kecepatannya dalam berdetak. Anyelir terluntang-lantung meninggalkan pasar dengan keadaan kacau dan tergesa. Ia langsung menyambar sepedanya dan mengayuh secepat yang ia bisa. Dipikirannya sekarang hanya ada satu nama terngiang, Ibu. Sepanjang perjalanan, Anyelir hanya mampus menangis dan berdoa dalam diam.
Sesampainya didekat rumahnya, Anyelir tertegun. Runtuh dunia menyaksikan rumah yang menemani kisah hidupnya selama ini habis termakan api. Ia menengok kepelataran tetangganya. Terlihat banyak orang tengah mengerumuni seseorang yang tak lain adalah Sang Ibunda, tergeletak lesu dengan berderai air mata.
Anyelir mendekat, luluh lantah hatinya melihat Ibunya menangis histeris. Ditengah hiruk pikuk orang-orang yang berusaha memadamkan api, Anyelir hanya mampu terduduk dihadapan Ibunya. Air matanya mengalir, namun tanpa suara tangisnya. Pupus sudah
harapannya untuk menyambung pendidikan di Universitas impiannya. Hari ini, sekali lagi semesta mematahkan harapan sebuah keluarga.
Api telah padam, matahari menenggelamkan dirinya, menyisakan kegelapan tak terhingga. Malam ini, Anyelir dan Ibunya terpaksa beristirahat dirumah Bora. Namun alih-alih tertidur, Anyelir memilih untuk merenung sambil menatap wajah lelah Sang Ibunda. Ibunya masih mengenakan kaos lusuh berwasa coklat dengan celana senada. Bahkan masih terdapat sisa-sisa tanah ditangan dan kaki Ibunya, bekas bekerja diladang pagi ini. Hatinya teriris hebat. Malam itu, Anyelir tenggelam dalam gelapnya malam, bersembunyi dibawah selimut untuk menyembunyikan isak tangisnya. Sampai pada akhirnya tanpa sadar ia terlelap, lelah dengan dunia hari ini.
Keesokan harinya, Anyelir bangun dan langsung menuju ke ruang tamu karena tak mendapati Sang Ibunda disampingnya saat bangun. Disana, ia melihat Ibunya tengah sarapan bersama keluarga Bora. “Anyelir, kemarilah nak, ada yang ingin Ibu sampaikan”, Anyelir mendekat dan dududk disamping Sang Ibunda. “Nak, maafkan Ibu… Sepertinya kau tak akan bisa untuk melanjutkan impianmu itu”, kata Sang Ibunda sembari terisak kecil. Melihat hal itu, Anyelir membalas dengan senyuman, “Tak apa bu, mungkin memang bukan rezeki Anyelir…Sebagai gantinya Anyelir akan bekerja saja bu. Toh dengan ini Anyelir bisa lebih fokus dan giat bekerja di toko Mbok Darmi umtuk memulihkan kondisi ekonomi kita. Mungkin Anyelir juga akan cari pekerjaan tambahan lain”. Sang Ibunda memeluk Anyelir, batinnya menjerit. Anaknya sangat kuat , hatinya ikhlas seluas samudra. Merka hanya memiliki satu sama lain saat ini.
Namun, siapa yang menyangka bahwa tuhan sebaik itu? Pada siang harinya, warga desa berbondong-bondong memberi bantuan pada mereka berdua. Mulai dari sembako, sandang, bahkan sejumlah uang. Muda-mudi desa berusaha menyebarluaskan berita ini agar sampai ketelinga pemerintah setempat.
Dari sana, beredar luas kabar bahwa seorang siswi berprestasi terpaksa mengubur dalam mimpinya untuk menyambung pendidikan di Universitas impian dikarenakan musibah kebakaran yang melanda dirinya. Pada akhirnya, Anyelir mendapat kedua untuk melanjutkan mimpi tersebut berkat bantuan dari berbagai belah pihak. Bahkan sahabatnya, Bora, mengizinkan dan memaksa Anyelir beserta Ibunya untuk tinggal sementara dirumahnya.
Anyelir bersyukur, amat sangat bersyukur karena dapat melihat senyuman yang mulai muncul kembali di bibir Sang Ibunda. Walau mereka berdua harus bekerja lebih keras lagi, tapi mereka yakin, tuhan tak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambanya.
Anyelir juga sangat bersyukur karena ia hidup dan tinggal dilingkungan yang baik. Tak akan ia lupakan bantuan dan ketulusan hati dari orang-orang yang telah membantunya. Dalam hati Anyelir berdoa, mulialah mereka. Bantuan datang dari berbagai arah, laksana terjun air yang melimpah ruah. Dari sini Anyelir juga belajar mengiklhaskan, karena dimewahkan bukan berarti dimuliakan, disempitkan bukan berarti dihinakan. Cukup hadapi dengan ikhlas dan sabar, maka akan ada jalan. (LH)